Selasa, 29 Juli 2008

Pelajaran Dari Anak Yang Hilang

Watchman Nee

Bacaan : Lukas 15 :11-32

Saya sudah pernah membahas perumpamaan yang ada di dalam perikop ini beberapa kali. Saat ini, saya tidak bermaksud membahas keseluruhan perumpamaan ini, tetapi hanya akan memberi penekanan pada beberapa bagian saja.


S A T U

"Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku salah satu orang upahan bapa." (ayat 17-19). Seorang berdosa yang ditekan oleh lingkungan sehingga menjadi sadar akan keadaannya selalu memiliki konsep tersendiri tentang keselamatannya. Ia akan berpikir bagaimana caranya agar ia bisa diselamatkan. Ia akan bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, "Apa yang harus saya perbuat supaya selamat?"

Jika saudara bertanya kepada orang-orang berdosa bagaimana caranya supaya mereka dapat diselamatkan, maka saudara akan mendengar berbagai macam jawaban. Allah punya cara tersendiri supaya manusia bisa selamat, tetapi mereka yang tidak mengenal Tuhan juga punya cara tersendiri. Jika ada 100 orang berdosa, maka akan ada 100 macam jawaban yang berbeda tentang keselamatan. Semua itu tergantung pada pengertian dan penilaian mereka masing-masing. Demikian juga halnya dengan si anak hilang dalam perumpamaan tersebut di atas. Ia juga memiliki pengertian sendiri tentang keselamatan. Ia berpikir, jika ia datang menemui ayahnya, maka ayahnya pasti akan sangat marah terhadap dia. Dan akibatnya, mungkin ia sudah siap memberi jawaban seperti ini, "Saya sudah menghabiskan semua warisan saya, Bapa. Saya tidak mempunyai hak lagi untuk memakai sepeserpun dari uang Bapa. Tetapi Bapa adalah orang yang kaya, yang mempunyai banyak orang upahan. Maukah Bapa mempekerjakan saya seperti Bapa mempekerjakan orang-orang upahan Bapa yang lainnya?" Dari sini jelas terlihat bahwa pengertiannya tentang keselamatan cuma sebatas menjadi seorang pelayan, menjadi seorang upahan! Ia tidak berpikir untuk diterima kembali sebagai anak.

Bagi orang berdosa, keselamatan dari Tuhan cuma berarti: Saya bekerja untuk Tuhan dan Tuhan memberi saya upah. Menurut banyaknya pekerjaan yang saya lakukan untuk Tuhan, maka sebanyak itulah upah yang saya terima. Cara berpikir seperti ini adalah cara berpikir seorang upahan, bukan cara berpikir seorang anak.

D U A

"Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari dan mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia. Kata anak itu kepadanya: Bapa aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa. Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa kemari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya." (ayat 20-22). Anak hilang tersebut akhirnya bangun dan kembali pulang kepada ayahnya. Ketika ia melihat ayahnya, ia mengucapkan kata-kata yang telah ia siapkan sebelumnya. Tetapi ketika ia hendak mengatakan kalimat: "Aku tidak layak lagi disebut anak bapa", kalimat yang akan diucapkannya itu segera terpotong. Tetapi ayahnya memerintahkan......! Haleluya! Saya mengucap syukur kepada Tuhan, karena keselamatan tidak tergantung pada konsep saya, tetapi tergantung pada apa yang ada di dalam pikiran Allah. Jika keselamatan itu tergantung pada pengertian yang dimiliki anak tersebut, maka ia cuma menjadi seorang upahan. Pikiran manusia penuh dengan aturan, penuh dengan "hukum". Artinya, seseorang hanya dapat berharap untuk menerima sesuatu sesuai dengan apa yang sudah dikerjakannya.
Anak hilang tersebut sudah menyiapkan kata-kata untuk diucapkan kepada ayahnya, tetapi kasih ayahnya begitu kuat menyentuh hatinya sehingga ia tidak mampu untuk menyelesaikan ucapannya dengan kata-kata,"Jadikanlah aku sebagai orang upahan Bapa saja." Kalau kita membaca bagian ini dengan seksama, maka kita akan melihat bahwa ayahnya sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk mengatakan hal tersebut. Kalimat yang diucapkan sebelumnya sudah cukup. Tanpa menunggu anaknya menyelesaikan kata-katanya, ia segera memerintahkan pelayan-pelayannya untuk membawa jubah yang terbaik untuk sang anak, juga cincin dan sepatu untuk dikenakan pada anaknya.

Perumpamaan di atas menyatakan bagaimana Allah memandang kita. Cara pandangNya tidak tergantung pada apa yang ada di dalam pikiran kita. Bila Ia bertindak berdasarkan pikiran kita, kita hanya akan menjadi orang upahan seumur hidup. Kita berpikir bahwa kita adalah orang yang berdosa; tetapi Tuhan menyatakan bahwa kita adalah anak-anakNya. Kita berpikir bahwa kita pasti akan binasa; tetapi Tuhan justru melayakkan kita untuk duduk bersama Dia di meja perjamuan. Jadi, sama sekali bukan hal yang berlebihan kalau kita katakan bahwa anugerahNya bagi kita sungguh luar biasa. Kita berpikir bahwa kita benar-benar tidak layak untuk disebut sebagai anak-anakNya, tetapi Ia melakukan sesuatu yang lebih jauh dari apa yang pernah kita pikirkan. Oleh sebab itu mari kita mengucap syukur kepada Tuhan, karena keselamatan yang telah diberikanNya kepada kita tidak berdasarkan konsep atau pikiran kita sendiri, melainkan berdasarkan pikiran Allah.

Ketika anak tersebut masih jauh, ayahnya telah melihatnya dan tergerak oleh belas kasihan. Ada seorang pria yang dirampok habis-habisan, dan kemudian ada seorang Samaria yang melihat dia dan tergerak oleh belas kasihan (lihat Lukas 10:33). Apa yang dimaksud dengan belas kasihan itu? Belas kasihan ditujukan kepada orang yang berada dalam posisi yang begitu lemah. Belas kasihan selalu datang dari atas, dari posisi yang lebih tinggi, dan ditujukan kepada suatu keadaan atau suasana yang memprihatinkan. Seandainya anak tersebut pulang dalam keadaan yang berkecukupan atau dengan kekayaan yang berlimpah-limpah, maka ayahnya tidak bisa menunjukkan belas kasihan. Bagaimana hatinya bisa tergerak oleh belas kasihan? Hanya karena ia melihat bahwa anaknya telah jatuh sehingga keadaannya tidak beda dengan seorang pengemis. Sejak saat itu "si pengemis" telah diterima kembali sebagai anak; ia yang mulanya mengemis-ngemis di depan pintu, kini telah diangkat sehingga ia boleh duduk di meja. Kita yang sama seperti pengemis, jauh terpisah dari Allah, telah menggerakkan belas kasihanNya.

Mari kita perhatikan hal yang lainnya; anak yang hilang itu berpikir bahwa dirinya tidak layak lagi disebut sebagai anak sehingga ia hanya berharap untuk bisa diterima sebagai orang upahan. Tetapi sang ayah memerintahkan supaya pelayan-pelayan mengenakan jubah yang terbaik, juga cincin dan sepatu kepada anaknya. Ini menunjukkan kekayaan Allah, bukan kemiskinan kita. Keselamatan berbicara tentang kekayaan Allah yang luar biasa. Betapa sering kita berpikir bahwa diri kita tidak layak, tidak berharga. Bahkan sekalipun kita sudah sadar, kalau kita berdoa tetap saja kita merasa tidak yakin apakah Allah mau mengampuni kita atau tidak. Kelihatannya orang-orang seperti kita ini tidak punya pengharapan dalam doa. Tetapi saat ini saya mau katakan kepada saudara, bahwa saudara sungguh keliru! Seorang yang sangat kaya tidak akan memikirkan tentang berapa banyaknya uang yang telah dipergunakan oleh anaknya. Sebaliknya ia akan berpikir berapa banyak uang yang bisa ia berikan kepada anaknya.
Ada sebuah ilustrasi yang menarik. Suatu saat saya berjumpa dengan seorang anak dari keluarga yang kaya. Dengan sungguh-sungguh saya menasehati dia supaya bertobat dan percaya kepada Tuhan. Suatu kali ia mengajak saya untuk bertemu dengan ayahnya. Saya meminta kepada si ayah supaya tidak menghalangi anaknya untuk percaya kepada Tuhan. Saya katakan kepadanya bahwa kalau anaknya mau bertobat, ia tidak akan memboroskan harta kekayaannya lagi. Sang ayah berkata bahwa ia memiliki sejumlah besar uang; berapapun besarnya si anak mempergunakan uang tersebut, ia tidak kuatir sama sekali. Seperti itulah Allah kita. Ia tidak kuatir kita akan menghabiskan uangNya. Kita mungkin berpikir bahwa Tuhan hanya punya seratus dollar sementara yang kita butuhkan seratus satu dollar. Kita mungkin takut seandainya semua uang itu kita habiskan, maka kita tidak punya uang sama sekali. Tetapi karena yang Allah miliki begitu banyak, dan karena Ia begitu kaya maka kita tidak perlu membatasi Dia. Ingatlah bahwa keselamatan kita mewakili besarnya kekayaan Tuhan. Ia memiliki persediaan berlimpah-limpah untuk kita gunakan sampai habis.
Saudara mungkin berpikir, saudara mempunyai suatu dosa yang tidak pernah bisa saudara kalahkan. Tetapi saya ingin bertanya kepada saudara, apakah Allah tidak mampu berbuat apa apa sehubungan dengan dosa saudara tersebut? Seringkali sebagai orang Kristen kita begitu lemah dan kalah oleh dosa; hati kita mengatakan bahwa riwayat kita sudah tamat. Tetapi yang dikatakan suara hati kita adalah keadaan kita sendiri. Hati kita mengatakan orang seperti apa kita ini, padahal darah Kristus yang mulia dan kudus telah menyatakan bagaimana sebenarnya pandangan Allah terhadap kita. Hati nurani kita telah diperciki oleh darah Kristus yang kudus itu sehingga yang kita miliki sekarang bukan lagi sekedar sebuah hati nurani dan semangkok darah, melainkan sebuah hati yang telah diperciki oleh darah Kristus. Jangan saudara pisahkan hati nurani dan darah Kristus ataupun sebaliknya. Yang ada sekarang adalah hati nurani yang sudah diperciki dengan darah Kristus, sehingga hati kita sekarang lebih putih dari salju.
Allah punya jubah untuk saudara kenakan dan Ia sama sekali tidak takut saudara akan menjualnya. Ia punya cincin untuk saudara pakai dan Ia juga tidak takut kalau saudara akan menggadaikannya; demikian juga Ia memberikan sepatu untuk saudara kenakan, dan Ia juga tidak kuatir kalau saudara akan melepaskannya. Sepantasnyalah kalau setiap anak Tuhan didandani dengan baik, karena di rumah Bapa banyak tersedia berbagai jenis benda yang bisa kita nikmati.

T I G A
"Dan ambilah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan mari kita makan dan bersukacita" (ayat 23). Jubah, cincin dan sepatu hanya dapat dipakai oleh si anak, karena benda-benda tersebut hanya dapat dikenakan kepada satu orang saja. Akan tetapi anak lembu tambun itu tentu tidak mungkin habis dimakan hanya oleh satu orang saja, karena dalam ayat itu juga dikatakan, "Marilah kita makan dan bersukacita." Ijinkan saya memberikan pengertian baru kepada saudara, yaitu tentang sukacita Allah. Pada malam ketika saya diselamatkan, semakin lama saya merenungkan hal itu, semakin saya bersukacita; saya ingin terus bernyanyi memuji Tuhan. Saya tidak peduli lagi bagaimana susunan kata-katanya ataupun nadanya. Itulah sukacita karena kelahiran baru. Tetapi ayat di atas dengan jelas menyatakan kepada kita bahwa ayahnyalah yang bersukacita saat itu. Jadi, yang ingin diceritakan di sini adalah sukacita Allah ketika Ia menyelamatkan satu orang berdosa. Yang biasa kita pikirkan adalah, betapa besar sukacita yang dimiliki oleh orang berdosa ketika ia bertobat, dan juga betapa besar sukacita kita ketika mendengar hal itu. Kita tidak menyadari sukacita Bapa di surga ketika Ia menyelamatkan satu orang berdosa. Kalau kita mengerti hal ini, barulah kita dapat mengerti hati Bapa kita.

E M P A T

"Tetapi ia (anak yang sulung) menjawab ayahnya, katanya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku." (ayat 29). Inilah kata-kata yang diucapkan anak yang sulung kepada ayahnya. Keinginan hati anak sulung tersebut adalah supaya ayahnya memberikan kepadanya "sukacita" supaya ia dapat bersenang-senang. Sementara itu si bungsu yang sudah berfoya-foya dan menghabiskan uangnya justru mendatangkan sukacita dan kebahagiaan kepada ayahnya ketika ia kembali. Sebenarnya si sulung telah benar-benar melakukan kewajibannya di rumah ayahnya, akan tetapi kekeliruannya adalah ia menghendaki ayahnya memberikan sukacita kepadanya. Padahal ayahnya mengundang dia untuk turut bersukacita bersamanya. Di sini kita perlu mengerti bagaimana hati Bapa. Ia ingin supaya kita juga turut merasakan sukacita dan kebahagiaanNya. Namun si sulung menginginkan anak kambing supaya ia bisa bersenang senang dengan teman-temannya sendiri. Ingatlah, Allah dengan caraNya sendiri tidak akan pernah memberikan sesuatu kepada seseorang kalau itu hanya untuk dinikmati oleh orang itu sendiri; Ia selalu menghendaki kita dapat menikmati segala sesuatu bersama-sama dengan Dia.

L I M A
Selanjutnya marilah kita membandingkan kedua hal ini yaitu: "mencium" dan "meja". Sang ayah merangkul anaknya dan mencium dia. Ciuman seperti ini telah membuat anaknya bahagia dan puas. Dengan ciuman itu ia tahu bahwa ayahnya sudah mengampuni dia. Semua kesalahannya tidak diungkit-ungkit lagi. Jadi, ia dibebaskan (dimerdekakan) dan dipuaskan karena semua dosa-dosanya sudah diampuni. Si bungsu kini bisa duduk bersama-sama ayahnya di meja dan hati ayahnyapun puas dan bersukacita, karena hari itu ia telah mendapatkan anaknya yang hilang. Banyak orang tidak mengerti betapa besar sukacita Allah kita jika ada satu orang diselamatkan. Mereka mengira mereka bisa selamat karena mereka memohon dengan sungguh sungguh untuk diselamatkan. Siapa yang benar-benar tahu bagaimana sukacitanya Allah ketika Ia menyelamatkan jiwa-jiwa? Ketahuilah bahwa ada suatu sukacita yang luar biasa yang Allah rasakan ketika menyelamatan jiwa-jiwa yang tersesat itu.

Ketika kita mendengar Bapa di surga berkata, "Aku telah mengampuni dosamu", kita merasakan damai dan sukacita. Kita tidak memerlukan hal-hal lain lagi untuk membuktikannya. Satu kata saja dari Allah sudah cukup buat kita, karena sekali Ia mengampuni kita, maka kita telah benar-benar diampuni. Sungguh sayang jika kita hanya memiliki sebagian sukacita dan tidak mau masuk sepenuhnya ke dalam sukacita Allah. Padahal kalau kita turut menikmati sukacita yang Allah rasakan sama artinya dengan kita menyenangkan Dia dan membuatNya bersukacita. Penyembahan keluar dari hati yang dipenuhi sukacita ilahi; penyembahan itu lebih dari sekedar ucapan syukur belaka. Penyembahan adalah kegembiraan di dalam Tuhan. Kita mengambil sukacita Allah menjadi sukacita kita. Pemazmur mengatakan, "... Allah, yang adalah sukacitaku dan kegembiraanku," (Maz 43:4). Baiklah kita menjadikan Allah sebagai sukacita kita yang sangat besar.

E N A M

"Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersukaria." (ayat 24). Allah mengajak kita untuk bersukacita karena dua alasan: pertama, karena anak ini telah mati dan menjadi hidup kembali; dan yang kedua, karena ia telah hilang dan kemudian didapat kembali. "Mati dan hidup kembali" adalah sesuatu yang didapat si anak. "Hilang, dan kemudian didapat kembali" adalah apa yang diperoleh sang ayah. Dulunya ia adalah anak yang hilang. Sekarang ia menjadi anak bapanya lagi. Awalnya, manusiapun diciptakan oleh Allah, tetapi mereka jatuh ke dalam dosa dan binasa. Tuhan Yesus datang untuk menyelamatkan dan membangkitkan mereka dari kematian. Inilah kebangkitan
itu. Tetapi penekanan kita sekarang adalah kepada pengertian "hilang dan didapatkan kembali".

Di dalam Lukas pasal 15 kita dapat menemukan tiga perumpamaan. Perumpamaan tentang domba yang hilang, perumpamaan tentang dirham yang hilang, dan perumpamaan tentang anak yang hilang. Pernahkah saudara merenungkan siapakah yang kehilangan semua itu? Yang sering menjadi pusat perhatian kita adalah betapa malangnya domba yang hilang tersebut. Barangkali ia tersesat dan berada di antara batu-batu yang tajam atau di tengah-tengah semak duri. Kita lupa untuk memperhatikan keadaan gembala yang kehilangan dombanya. Gembala tersebut pasti juga menderita. Betapa malangnya ia. Demikian pula kita sering memusatkan perhatian kita pada dirham atau mata uang yang hilang. Kita ikut berpikir di mana kira-kira jatuhnya uang tersebut. Kita lupa bahwa sesungguhnya si wanita itulah yang kehilangan uangnya. Ialah yang dirugikan karena kehilangan uang. Dan dalam perumpamaan anak yang hilang ini kita juga memikirkan betapa malangnya anak yang hilang itu. Berada jauh dari kampung halamannya dan bahkan tidak memiliki makanan walaupun sekedar makanan babi untuk meredakan laparnya. Kita juga turut bersukacita ketika ia diterima kembali di rumahnya, karena itu merupakan anugerah yang besar buat dia. Akan tetapi siapa yang menderita karena kehilangan anak? Sudah tentu bukan si anak hilang, tetapi ayahnya. Ayahnyalah yang paling menderita. Ia sudah menghabiskan uang untuk menyekolahkan anaknya tetapi tidak ada hasilnya. Oleh karena itu ia
berkata, anaknya telah hilang namun didapat kembali. Itulah sebabnya sang ayah dan orang-orang lainnya mulai berpesta dan bersukaria.

Pernahkan kita renungkan bahwa setiap pertobatan dan ketaatan selalu mendatangkan sukcita bagi hati Bapa di surga? Inti dari berita injil bukan terletak pada apa yang diterima oleh orang-orang berdosa, tetapi pada apa yang diterima Bapa di surga. Saudara dan saya yang menghambur-hamburkan uang, tetapi Bapa kitalah yang mengalami kerugian. Sungguh sepatutnyalah kita mempersembahkan seluruh hidup kita dan keberadaan kita kepadaNya. Berapa banyak yang bisa kita berikan kepada Tuhan? Jangan lagi kita beranggapan bahwa tidak apa-apa kalau kehidupan rohani kita agak suam-suam. Kita harus tahu apa akibatnya bagi Allah kalau kita bersikap suam-suam. Janganlah berpikir bahwa sedikit mengasihi dunia dan ikut-ikutan dengan dunia adalah hal sepele dan bukan persoalan besar. Kita harus mengerti bahwa hal itu sangat mempengaruhi hubungan kita dengan Allah, membuat Bapa kita dirugikan. Setiap kali kita menyadari keadaan kita seperti yang dialami anak yang hilang tersebut, kita memperbaharui penyerahan kita kepadaNya. Jika kita mau mempersembahkan diri kita kepada Allah, maka kita membuat Ia sangat bersukacita.

Apa yang saya peroleh ataupun yang hilang dari milik saya tidaklah penting; yang penting adalah apa yang seharusnya Allah peroleh. Setiap kali saya menyadari bahwa saya sedang membuat hati Bapa gembira melalui ketaatan saya, betapa indahnya. Allah mampu menciptakan alam semesta ini dan Ia juga mampu memberikan segala sesuatu kepada manusia. Tetapi Ia bisa kehilangan hati manusia. Ia tak pernah memaksakan kehendakNya kepada siapapun. Ketika saya merenungkan kebesaranNya, kemahakuasaanNya dan segala kelimpahanNya, Ia yang adalah pencipta segala sesuatu, saya sungguh terpesona mengetahui bahwa Ia dapat memperoleh sesuatu dari makhluk seperti saya, yang tidak ubahnya seperti setitik debu atau seekor cacing yang sangat tak berarti. Ia berkata: "Marilah kita bersukacita !" Kembalinya anak yang hilang telah membuat hati Allah bersukacita. Ia yang mengisi alam semesta ini dapat bergembira dan bersukacita karena ketaatan kita yang kecil. Penyerahan tidak dipaksakan kepada kita untuk membuat kita menjadi budak; hal itu justru memampukan kita untuk masuk ke dalam sukacita ilahi, sukacitanya Allah, sehingga Ia boleh bersukacita karena kita. Betapa indahnya hal itu! Biarlah saat ini kita mau datang kepada kebahagiaan dan sukacita Allah sehingga Iapun dapat bersukacita oleh karena kita!

Terjemahan dari GRACE FOR GRACE by Watchman Nee (Bab 2, Gleanings from the Parable of the Prodigal Son), dea, 270793.

Tidak ada komentar: